Oleh : Adam Jauri (Forum Pemuda Manakarra)
Menjadi hal yang paradoks pabila ekonomi diperhadapkan dengan lingkungan hidup. Lingkungan hidup tidak bisa dipisahkan dengan mahluk hidup karena merupakan sesuatu hal kompleks.
Governance harus menjadi titik balik dari akan adanya pembangunan ekonomi, karena bilamana kebijakan tidak bijaksana, maka akan melahirkan suatu bencana besar yang melebihi kekejaman Genosida, Arthur Galston menamainya ‘Ekosida‘.
Selama 4800 tahun etnis Kalumpang telah mendiami wilayahnya dengan hidup yang berkecukupan. Bentang alam yang indah, sumberdaya alam yang melimpah menjadikan Kalumpang Primadona Mancanegara. Namun didalam lembaran kisahnya yang dimulai 10 tahun lalu Etnis Kalumpang telah dihantui oleh ketakutan. Rasa takut itu tidak termasuk syndrome, melainkan ancaman dimana mereka akan dimusnahkan dengan dibuatkan bencana.
Pemusnahan itu dipermak cantik agar terdengar menarik dengan pendekatan lips servis, iming-iming yang merekonstruksi tatanan imajinasi orang-orang awam.
Bencana tersebut ialah pembangunan proyek PLTA, (bisa kunjungi: Menolak PLTA Karama ) yang dimana pembangunan mega proyek PLTA merupakan Bencana Paripurna. Berangkat dari UU No.24 tahun 2007, bencana dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: Bencana alam, Bencana nonalam, dan Bencana sosial. Ketiga bencana itu menyatu didalam satu bencana yakni bencana penenggelaman dari pembangunan proyek PLTA.
Masyarakat nantinya akan dipaksa untuk keluar dari kampung atau wilayah yang mereka sudah diami selama beribu-ribu tahun lamanya. Tempat atau habitat flora dan fauna akan hilang pabila tempat tersebut akan ditenggelamkan mengingat ada beberapa jenis hewan endemik dari hutan Kalumpang.
Hal ketiga lainnya ialah persoalan lingkungan, dimana lingkungan merupakan wilayah/tempat yang menyediakan ruang hidup bagi manusia, tumbuhan, dan hewan. Secara khusus tempat atau wilayah yang ada di tanah Adat Kalumpang Raya memiliki kekayaan alam, budaya serta sejarah peradaban kehidupan manusia.
Dan bilamana kejadian diatas terjadi, maka kejadian tersebut merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Terberat karena telah menghilang tempat atau ruang hidup dari mahluk hidup yang ada diatasnya. Kejadian tersebut ialah Ekosida, tingkatan pembasmian/pemusnahan tertinggi dari Genosida,
Namun selain Genosida, tindakan penenggelaman tersebut berdampak atau menyentuh budaya yang ada di Masyarakat Adat. Oleh karena dari penenggelaman tersebut, akan menghilangkan tempat, sejarah, dan karakteristik dari Masyarakat Adat Kalumpang Raya. Dan ketika itu terjadi maka kejadian itu dinamai Etnosida dan Cullture side yang sepadan dengan Genosida (pembunuhan besar-besaran).
Bencana nonalam dari akan dibangunnya bendungan raksasa tersebut ialah menghilangkan kehidupan luas yang dimana hal tersebut berangkat dari bangunan yang sengaja dibangun oleh manusia. Kedua ialah bencana alam yang dimana penengelaman dari dibangunnya Mega Proyek PLTA dapat menjadi bom waktu bagi masyarakat yang ada dibawah bendungan (Kecamatan Sampaga, Sebagian Kecamatan Tommo, Sebagian Kecamatan Kalukku, dan Kecamatan Pangale).
Yang ketiga yaitu Bencana Sosial, dimana sebelum apabila PLTA itu masuk beroperasi atau membangun bendungan maka masyarakat yang terdampak akan ribut hingga rusuh terkait ganti rugi lahan.
Pengalaman demikian telah dialami oleh masyarakat Meko yang ada di Poso dan masyarakat Jati Gede.Maka memang tidak ada salahnya jikalau penenggelaman wilayah di tanah adat Kalumpang Raya yang akan di prakarsai oleh Perusahaan PLTA yang kan dibangun di Kamassi itu disebut sebagai Bencana Paripurna, oleh karena seluruh aspek bencana berpadu didalam satu bencana besar serta Pemerintah dan Masyarakat akan mengalami konflik horizontal yang berkepanjangan, lalu Kampung Tua Kalumpang hanya akan menjadi dan berwujud cerita manis yang akan ditutup oleh linangan air mata yang sangat pahit. (adm/iqb)