Oleh: Anriadi
Ketua Bidang Hikmah, Politik dan Kebijakan Publik DPD IMM SULBAR
Tragedi besar dan duka dalam sejarah persepakbolahan kembali terjadi, duka kali ini benar-benar menyayat hati seluruh bangsa Indonesia. Seluruh Nusantara berduka bahkan hingga seluruh dunia. Insiden ini memakan ratusan lebih korban jiwa yang tak bersalah dan tak tahu apa-apa. berbekal niat bersuka cita demi menyaksikan klub bola kesayangan berlaga, kini berubah menjadi duka cita.
Para korban yang berangkat dengan kegembiraan harus pulang dengan nama dengan status tak bernyawa. beberapa tokoh seperti Presiden jokowi, Menteri koordinator bidang politik, hukum dan keamanan Mahfud MD, Ketua PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir, hingga Klub-klub Liga Primer Inggris mengungkap duka sementara Liga Spanyol melakukan mengheningkan cipta untuk korban.
Awalnya, pertandingan antara Arema melawan Persebaya itu berjalan normal meski sempat terjadi kericuhan kecil di sudut tribun penonton dan berhasil diredam oleh Aparat keamanan. Namun setelah pertandingan usai dengan hasil kekalahan yang ditelan pahit oleh Arema selaku tuan rumah dengan skor 2 – 3.
Supporter yang sudah terguncang emosional dengan kekalahan di kandang mulai membuat onar. Betapa tidak, persebaya tercatat dalam sejarah belum pernah menang di kandang Arema dalam kurun waktu 23 tahun, dan malam itu sejarah prestasi Arema ditepis Persebaya. inilah salah satu alasan mengapa kekalahan Arema di Kandang tidak bisa diterima supporternya sendiri, sebab Arema belum pernah dikalahkan Persebaya dalam kurun waktu 23 tahun terakhir.
Hasil kekalahan ini melukai para supporter di akhir pertandingan, terlihat beberapa supporter mulai memasuki lapangan pertanda tak terima dengan permainan Arema sendiri. Hal ini memprovokasi supporter lain untuk memasuki lapangan dan mencari pemain Arema. Buntut dari peristiwa itu aparat keamanan mulai melakukan tugasnya. Tugas Aparat yang terlalu berlebihan semakin memancing emosi para supporter. bagaimana tidak, pihak keamanan melakukan tindakan represif serta memukul beberapa supporter dengan pentungan dan beberapa supporter diinjak-injak.
Bentuk pengamanan aparat yang berlebihan itu semakin membuat kondisi tak terkendali, massa yang sudah mulai memasuki lapangan dibalas dengan tembakan gas air mata ke hampir seluruh tribun penonton, akibatnya penonton yang tidak terlibat dalam anarkisme brutal supporter lain kini harus merasakan gas air mata. hal ini membuat kepanikan hampir diseluruh tribun penonton.
Supporter yang masih terkurung didalam stadion harus mencari lokasi aman yang bisa terhindar dari gas air mata yang mampu menyesakkan nafas. Alhasil, akibat dari penanganan tersebut terjadi penumpukan massa yang tidak terkendali. Seluruh lapangan kini hampir diselimuti gas air mata didalam tempurung stadion Kanjuruhan yang mengurung para penonton. Demi menghirup udara segar, para penonton berdesakan di pintu keluar, terinjak, terhimpit dan kekurangan oksigen ditambah kumpulan gas air mata masih berkeliaran dan menguasai seisi stadion.
Kericuhan juga tak terhindarkan diluar stadion, massa yang mulai geram dengan sikap Aparat kemanan yang berlebihan serta menggunakan kekerasan membuat kericuhan semakin melebar. Kendaraan Kepolisian dibakar dan beberapa kendaraan lain. Ini bukan tentang Aremania vs supporter Persebaya tetapi lebih kepada Aparat vs Supporter.
Lucunya, ternyata dalam Standard Operating Procedure (SOP) yang dikeluarkan oleh FIFA, dalam pengangan keamanan dalam pertandingan sepak bola haram menggunakan senjata dan gas air mata. Kesalahan ini bukan kekeliruan, sebab aparat memang sudah dipersenjatai dengan pentungan dan gas air mata, maka ada kelalaian dan kesengajaan dalam sistem penanganan kita.
Kericuhan ini menjadi memori yang paling menyakitkan di dunia dalam jumlah korban tewas terbanyak kedua setelah Peru dengan korban jiwa mencapai 328. Dengan jumlah terbanyak kedua di dunia maka tak heran FIFA memberi ancaman akan memberhentikan seluruh pertandingan sepakbola di Indonesia hingga beberapa tahun kedepan. Insiden Kanjuruhan membuktikan penanganan keamanan persepakbolaan Indonesia masih jauh dibawah standar dan tak aman untuk digelar.
PT. LIB sebagai penyelenggara harus dimintai petanggung jawabannya terhadap segala kelalaian dan sistem keamanan yang tidak mumpuni dan jauh dari kata layak, aparat kepolisian yang melanggar aturan FIFA sebagai buntut penyebab utama kericuhan dan banyaknya korban jiwa dengan tidak menjalankan tugasnya secara profesional serta jauh dari nilai-nilai kemanusiaan, Polda Jatim perlu dievaluasi secara serius.
PSSI sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas seluruh sistem persepakbolaan indonesia adalah pihak yang paling bertanggung jawab. PSSI terlalu banyak disusupi oleh Mafia dan politikus, serta ditongkrongi oleh orang-orang yang bukan ahli dibidangnya. PSSI yang menjadi lembaga tersistem dengan Sepakbola ternyata dinakhodai oleh Iwan Bule yang punya keahlian di institusi Kepolisian, bukan Atlet ataupun yang punya keilmuan tentang persepakbolahan, bagaimaan tidak sistem PSSI yang harusnya menggembirakan kini dikelola dengan sistem militeristik.
Alhasil, penanganan persepakbolahan diisi oleh cara-cara militeristik. Seharusnya insiden Kanjuruhan ini dapat dihindari sedini mungkin, tanda-tanda kericuhan sudah terlihat diawal pertandingan. kalau sudah begini, jurus terakhir PSSI adalah meminta maaf yang tidak bisa lagi menghidupkan ratusan nyawa melayang akibat sistem yang dikelola secara kekanak-kanakan. Desakan dari berbagai pihak menuntuk ketua PSSI mundur mulai marak disuarakan, sepertinya itu adalah suara dari keluarga korban dan seluruh bangsa indonesia yang berduka.
PSSI terlalu banyak dimainkan oleh politisi, alhasil sistem yang dikelola adalah sistem yang tidak profesional. Indonesia yang menjadi negara atas antusiasme terbesar didunia atas sepakbola dikelola oleh sistem yang dibangun atas landasan kepentingan oligarki. Disamping Timnas kita sedang bersusah payah membawa nama Indonesia ke kancah internasional kini harus terhenti oleh insiden memalukan di Stadion Kajuruhan. Panitia, Aparat Kepolisian dan PSSI penyumbang terbesar kematian supporter yang tidak bersalah itu. Mereka adalah korban dari sistem penanganan kita yang jauh dari kata layak. Tak ada sepakbola yang seharga nyawa manusia.