JAKARTA, INISULBAR.COM,- Anggota Komisi IV DPR RI , Muhammad Zulfikar Suhardi, menepis tuduhan yang menyebut jika banjir dan bencana hidrometeorologi yang terjadi belakangan ini merupakan kegagalan kebijakan pemerintahan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY.
Politikus muda Partai Demokrat ini mengatakan, justru pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) fondasi paling penting dalam tata kelola lingkungan, tata ruang, hingga kebencanaan nasional diletakkan secara sistematis.
“Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), justru fondasi paling penting dalam tata kelola lingkungan, tata ruang, dan kebencanaan nasional diletakkan secara sistematis,” kata Zulfikar Suhardi kepada wartawan di Jakarta, Selasa,(16/12/2025).
Lebih lanjut, Zulfikar Suhardi mengingatkan, bahwa pengesahan Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan penetapan RTRWN di tahun 2008 menandai fase institusionalisasi tata ruang terbesar dalam sejarah Indonesia.
“Untuk pertama kalinya, hampir seluruh provinsi serta ratusan kabupaten/kota diwajibkan memiliki rencana tata ruang yang mengikat, dengan penegasan kawasan lindung, daerah aliran sungai, dan zona rawan bencana. Kerangka ini masih menjadi rujukan utama hingga hari ini, menunjukkan kekuatan desain kebijakan yang dibangun pada masa itu,” jelas Zulfikar Suhardi.
Tak hanya itu, kata Zulfikar Suhardi, komitmen terhadap lingkungan juga tercermin melalui kebijakan moratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut sejak 2011. Pada masanya, tegas dia, langkah ini merupakan terobosan besar yang menggeser paradigma pembangunan dari ekspansi tanpa batas menuju kehati-hatian ekologis.
“Fakta bahwa deforestasi belum sepenuhnya berhenti tidak dapat dilepaskan dari izin-izin konsesi yang terbit jauh sebelum moratorium diberlakukan. Menyalahkan kebijakan tersebut atas kerusakan ekologis struktural adalah kesalahan membaca konteks sejarah kebijakan,” jelas dia.
Legislator asal Sulawesi Barat (Sulbar) ini menambahkan, yang kerap luput dari perhatian publik adalah dinamika setelah tahun 2015 atau selepas kepemimpinan Presiden SBY. Saat itu, lanjut dia, revisi tata ruang dilakukan secara masif di banyak daerah.
“Perluasan area penggunaan lain, pengurangan kawasan lindung, serta sinkronisasi tata ruang dengan proyek-proyek strategis berbasis lahan telah mempercepat tekanan terhadap hutan dan kawasan hulu DAS, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Dalam konteks inilah deforestasi kembali meningkat dan risiko banjir membesar,” imbuh dia.
Dengan kondisi tersebut, Zulfikar Suhardi menekankan, krisis lingkungan yang terjadi hari ini bukanlah akibat kegagalan fondasi kebijakan era Presiden SBY. Namun, lebih kepada persoalan konsistensi pelaksanaan lintas pemerintahan.
“Tata ruang, moratorium hutan, dan perlindungan DAS adalah instrumen jangka panjang yang hasilnya hanya terlihat bila dijalankan secara disiplin dan berkelanjutan. Ketika instrumen tersebut dilonggarkan atau dikompromikan atas nama percepatan investasi, maka bencana menjadi konsekuensi yang tak terelakkan,” ungkap Zulfikar Suhardi.
Zulfikar Suhardi berharap, agar ke depan masyarakat dapat membaca kebijakan lingkungan secara adil. Zulfikar Suhardi meminta, agar semua elemen masyarakat berhenti mencari kambing hitam dan mulai menagih konsistensi.
“Tanpa itu, fondasi sekuat apa pun akan runtuh oleh keputusan jangka pendek, dan masyarakat kembali menjadi korban dari kebijakan yang abai terhadap daya dukung lingkungan,” pungkasnya. (*)

